DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DESA

UU No. 32/2004 mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk BPD dengan sistem permusyawaratan  dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa (disingkat Bamusdes). Pasal 210 menegaskan: “Anggota badan permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”.  “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk Desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga,  pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Bamusdes mewadahi para pemuka masyarakat Desa tanpa harus dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan LMD yang lalu.

Di Desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap pemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala Desa. Akibatnya adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untuk berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam pemerintahan Desa.

Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala Desa. Pertanggungjawaban kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum: “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya..-…”

Klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala Desa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”.  Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang kami sebut sebagai resentralisasi, serta mereduksi prinsip subsidiatity dan proses demokrasi lokal.  Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan di level lokal.  Sedangkan demokrasi lokal mengajarkan bahwa akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas.

Dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuat kepala Desa kurang akuntabel dan responsif  kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari Desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi Desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level Desa.

Di sisi lain lembaga-lembaga kemasyarakatan juga menjadi bagian penting dari demokrasi Desa. Di atas kertas, UU dan PP memberikan kekuasaan yang besar terhadap apa yang disebut sebagai lumbaga kemasyarakatan, dan ini sepertinya akan memberikan ruang bagi masyarakat sipil di Desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Namun demikian, ada beberapa resiko yang mungkin muncul dengan keluarnya PP dan perda yang menindaklanjuti. Pertama, lumbaga ini bisa diartikan sebagai lembaga baru dan satu-satunya lumbaga yang menjadi mitra pemerintah Desa di dalam merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan. Jika penafsiran seperti itu, maka akan muncul lumbaga  korporatis yang dibentuk oleh pemerintahan Desa dan menjadi kepanjangan tangan Desa. Di peDesaan lembaga semacam ini pernah ada yang disebut dengan LKMD  dan menjadi satu-satunya lumbaga yang melibatkan unsur tokoh masyarakat Desa. Namun demikian dengan adanya LKMD ini, kelompok-kelompok masyarakat tidak dilibatkan secara formal dalam proses pengelolaan pembangunan Desa.

UU dan PP dengan baik menegaskan bahwa lembaga kemasyarakatan menjalankan agenda pemberdayaan masyarakat. Hendaknya PP menegaskan secara spesifik tentang penegertian pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena selama ini pengertian pemberdayaan masyarakat telah diartikan secara sempit sebagai pemberian  bantuan dan pembinaan kepada masyarakat oleh pemerintah. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembalajaran  oleh dan untuk maysarakat untuk mencapai kemandirian dalam mengelola urusan mereka di komunitas baik urusan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu PP menegaskan dalam penjelasan tentang konsep pemberdayaan masyarakat seperti itu. Selain itu agenda pemberdayaan masyarakat sebagai tugas pemeintahan Desa lebih banyak menfasilitasi kelempok-kelompok masyarakat dalam membangun kemandiriannya. Lewat forum lumbaga kemasyaraktan itu, maka pemerintah Desa bisa memberikan  mandat untuk menjalankan kegiatan yang langusung ditangai oleh pokja-pokja yang merepresentasikan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tidak ketiggalan  pengertian pemberdayaan harus berdimensi keperpihakan kepada kelompok yang lemah, sehingga agenda pemberdayaan dan alokasi anggaran lebih dialamatkan kepada mereka daripada secara merata  kepadasetiap kelompok dalam masyarakat.

Tinggalkan komentar