MEM-PANCASILA-KAN MANUSIA INDONESIA

Banyaknya kasus intoleransi seperti saling sesat menyesatkan antar sesama pemeluk agama, kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung berakhir, hilangnya rasa persatuan berkedok pertikaian antar etnis, banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, dan hilangnya rasa keadilan masyarakat akibat mental koruptif pejabat-pejabat negara. Menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak Pancasilais.

Lantas pertanyan yang paling mendasar adalah, dimanakah pancasila saat itu? Jawaban atas pertanyaan yang reflektif tersebut mungkin akan terjawab jika kita menghubungkannya antara Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm) dengan implementasi dari Pancasila itu sendiri. Merujuk kepada realita yang telah saya sebutkan diawal tulisan ini, kita bisa melihat bahwa antara Pancasila sebagai norma dan implementasinya sangat kontradiktif. 

Adanya ketimpangan antara dasein (bagaimana adanya) dan dasolen (bagaimana seharusnya) Pancasila tersebut sebagai akibat dari lunturnya nilai-nilai luhur pancasila dalam diri manusia Indonesia. Nilai-nilai yang seharusnya kita jadikan fondasi dalam berprilaku malah diperlakukan layaknya sebuah barang antik yang hanya dibanggakan dan dipuja-puja tanpa ada aksi nyata. Kita seharusnya malu mengapa bangsa lain lebih Pancasilais ketimbang kita yang katanya hukum tertinggi adalah Pancasila.

Untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam diri manusia Indonesia (mem-Pancasila-kan Manusia Indonesia) memang tidak tidak mudah, perlu perencanaan yang matang dan berkesinambungan. Tidak bisa dengan hanya melakukan ceramah ataupun seminar yang justru terkesan berlebihan dan membosankan lagi pula kegiatan-kegitan tersebut hanya dihadiri oleh sebagian kecil masyarakat. Untuk itu, langkah nyata dan sederhana mungkin solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika dalam hidup “membangsa Indonesia” (Rm. Mudji).

Tindakkan nyata dan sederhana tersebut kita bisa lakukan dengan cara: pertama, bersikap toleran dengan dengan umat yang berbeda agama, ditunjukan lewat menghargai umat yang sedang beribadah dengan tidak perlu saling protes memprotes karena pada dasarnya agama untuk manusia bukan manusia untuk agama; Kedua, hendaknya dalam berprilaku harus bersikap adil dan beradab. Bersikap adil maksudnya hendaknya dalam mengambil keputusan haruslah mempertimbangkan efeknya (kedua belah pihak merasa puas), beradab maksudnya agar dalam bertindak dan bertutur kata  harus berpatokan pada norma kesopanan tahu menghargai orang yang lebih tua bukan dengan saling mencibir dan mengkritik; Ketiga, sebagai bangsa yang berbineka sudah sepatutnya harus menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan, pertikaian dan perang bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan; keempat, musyawarah untuk mufakat adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan sebuah perselisihan, bersikap represif dan main hakim sendiri bukanlah tradisi bangsa ini maka sudah saatnya untuk meninggalkan kebiasaan itu; kelima, rasa keadilan masyarakat hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keptusan bukan dengan menaikkan harga BBM yang justru menjadi sumber ketidak adilan sosial.

Langkah-langkah nyata tersebut disatukan dengan apa yang dinamakan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang urgen dilakukan dalam rangka mem-Pancasila-kan manusia Indonesia. Jika nilai-nilai luhur Pancasila tersebut sudah menjadikan karakter bangsa maka akan tercipta masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.